Napak
Tilas Jejak Syair Gendhing Kembang Pepe
oleh Elvin Hendratha
Saat penggarapan music pengiring
tari pada tanggal 17 Maret 2025 bersama Nuno Sutedjo dan Epenk Syumanjaya, Mak Temu terlihat kesulitan menyanyikan
gendhing Kembang Pepe. Syair Kembang Pepe sudah tidak diingat Gandrung
Temu. “sakjane Iki bagiane Pinah” (sebenarnya ini adalah bagiannya
Gandrung Supinah), ujarnya sedikit kesal karena kehilangan memori. Saya yang duduk
dengan Kang Gamal (POB) disebelah Mak Temu menuntun, mencoba membangkitkan lagi
ingatannya.
Dalam hati diam-diam saya meragukannya,
kurang yakin syair yang saya rapalkan itu benar adanya. Saya nekad menuntun
ingatan Mak Temu dengan menggabungkan ingatan Kang Gamal. Lamat-lamat saya coba
merekontruksi kenangan masa kecil, saya dulu pernah diajari langsung H.Sutedjo
Hadi Hanapi tahun 1984. Tapi begitu masuk bait-bait berikutnya saya kehilangan
banyak memori. Tetapi untung hanya membutuhkan sekelumit bait pertama Kembang
Pepe pada penggarapan karya itu. Hanya berfungsi sebagai pemanis.
Penasaran pulangnya saya mencoba mengidentifikasi
ulang ingatan terhadap keberadaan syair Kembang Pepe. Hasil identifikasi mendapatkan
beberapa catatan Kembang Pepe adalah sebagai berikut :
1.
Studio Ria Records Banyuwangi pada tahun 1985 pernah memproduksi kaset rekaman analog pengiring tari berbandrol Punjari – Musik Iringan Tari Kreasi Volume 6. Kaset berisi 6 (enam) gendhing pengiring tari, salah satunya adalah gending tari Punjari. Punjari dibuka dengan gendhing Kembang Pepe. Sayangnya hanya berisi sekelumit baris saja yang berfungsi sebagai pembuka tari. Padahal kaset ini banyak dijadikan acuan generasi baru ketika menyanyikan Kembang Pepe. Walhasil banyak generasi penerus yang mengira bahwa Gendhing Kembang Pepe memang hanya sekelumit itu.
Berikut adalah syair Kembang Pepe yang dialunkan yang berfungsi sebagai opening pada rekaman kaset gendhing pengiring tari Punjari :
Kembang Pepe merambat ring Kayu Arum
Sang arumo membat mayun
Sampek peyot ngajak lungo
Pada event
Festival Gandrung Sewu tanggal 09 Oktober 2017, pertunjukan digelar dalam sajian
berthema Kembang Pepe, dinyanyikan panjak Cak Wan dkk secara choir. Terus gandrung
menumpanginya dengan gandangan memasuki baris “Sampek peyot ngajak lungo”
melakukan improvisasi laikan. Syair menjadi lirih tak terdengar. Bahkan makin kalah
saat terdengar Kang Fauzi menumpangi saat bernarasi. Kembang Pepe dalam
Gandrung Sewu 2017, memang disajikan dalam kemasan yang lebih berkosentrasi pada
pembeberan narasi dramatis filosofi dan amanat potret peristiwa. Kembang Pepe
tidak difokuskan ditampilkan pada lekuk anatomi struktur syair gendhing pelog atau
tarinya, tetapi lebih memfokuskan pada titik fungsi sebaran penguatan
nilai-nilai perjuangan dalam mengusir kaum penjajah. Tak ditemukan secara jelas
wajah lengkapnya.
Kelompok Sanggar Tari Lang-Lang
Buana pernah membuat karya tari kreasi baru berjudul : Gandrung Kembang
Pepe. Tapi Lang-Lang Buana juga mempersingkat memperpendek syairnya
hanya sampai Kariya Ngeluru Lare, tak lengkap sajian syairnya. Lang-Lang
Buana seperti lebih memperhitungankan kepadatan, efisiensi durasi atau perhitungan
jumlah gerak tarinya. Anehnya pada deretan gendhing Lang-Lang Buana, terdapat
gendhing Pembuka Barong yang dijahit diselipkan. Susunan syair Kembang
Pepe pada music tari Lang-Lang Buana, akhirnya juga menjadi tidak lengkap menjadi
sebagai berikut:
Kembang Pepe merambat ring Kayu Arum
Sang arumo membat mayun
Sampek peyot ngajak lungo
Ngajak lungo, mbok pengantin kariyo dhalu
Ngenjot-ngenjot yara lakune
Kariya ngeluru lare
Kondisi minimnya susunan syair Kembang Pepe, bisa jadi memang alasan hanya sebagai pemanis music penggiring tari, tidak perlu lengkap. Ataukah penyajian singkat, terjadi karena kita semua sudah kehilangan sumber jejak pada kelengkapan bait syair gendhing pelog Kembang Pepe itu sendiri. Minimnya informasi syair membuat seorang gadis menyanyikan di sosial media dengan perubahan dramatis melakukan amputasi 3 (tiga) larik langsung melompat pada baris closing larik akhir, menjadi bersusunan sebagai berikut:
Sang arumo membat mayun
Sampek peyot ngajak lungo
Ngajak lungo, mbok pengantin kariyo dhalu
Ngenjot-ngenjot jare lakune
Syang Temenggung hang nyakseni
2. Syair Gendhing Kembang Pepe berdasarkan catatan
Ottolender
Kembang pepe merambate
ing kajoe aroem, ja aroema
Membat majone mbok penganten
kari daloe lakonnane,
mentjot lakonnage.
Balio, ngeloeroe lariq
Lariq bakoe toeroena ing praoe
Praoene moeroep tjandi, .
kang koemendoeng langsane.
Secara struktur dan diksi catatan Ottolender sedikit berbeda, terlebih pada kata baru bakoe dan catatan 2 (dua) baris berbeda jauh pada penutupnya. /Praoene moeroep tjandi/kang koemendoeng langsane//. Apakah Ottolender salah dengar, ataukah pelantun mengalami keseleo lidah (slip of the tongue) , ataukah memang memang begitu aslinya ? kata kerja atau adverb “bakoe” relative tidak pernah terdengar dalam perbendaharaan kata sekarang.
Tetapi kalau boleh saya rekontruksi dengan susunan bait dan ejaan sekarang, maka catatan Ottolender itu menjadi sbb:
Kembang pepe merambat ring kayu arum,
Ya aruma membat mayun
mbok penganten kari dalu lakonnane,
mencot lakonnane, balio, ngeloeroe lare
Lare baku turukeno ring perahu
Perahune murup candi
kang kumendung langsane.
Perbedaan diksi dan amanat berbeda, melahirkan anak-anak muda melantunkannya secara berbeda-beda di sosial media. Beberapa varian kata dan makna berkembang secara dinamis mencolok, seperti :
· “Kariya ngeluru lare” berubah dinyanyikannya menjadi : “Bariya ngeluru lare”
· “Lare bakal turokeno ring perahu” berubah
dinyanyikannya menjadi : “Lare dakon turokeno ring Perahu”
· “urugono ning wono cinde” berubah dinyanyikannya
menjadi : “lurubono ning wono cinde”
· “Syang Temenggung hang nyakseni” berubah dinyanyikannya
menjadi “Syang Kumendung welasani”
Tapak langkah jejak Kembang Pepe dapat ditelusuri dari Upacara adat Seblang Olehsari. Secara keseluruhan syair yang dinyanyikan choir sinden, tidak berbeda dengan yang dinyanyikan Gandrung Supinah. Rumah Gandrung Supinah hanya berjarak 50 Meteran dengan altar Payung Agung pada upacara Seblang Olehsari. Sehingga tidak mengherankan bila keduanya memiliki persamaan walau terdapat beberapa perbedaan kata.
Dwi Putri Ramadani yang sudah 2 (dua) kali didaulat sebagai penari Seblang, telah menuntaskan tugas diemban untuk ketiga kalinya sore itu tanggal 10 Pebruari 2025. Kelompok paduan suara yang terdiri dari sinden wanita paruh baya, dengan penuh semangat menyanyikan gendhing-gendhing itu secara berulang. Ketiga sinden yang menanyikan choir gendhing Kembang Pepe memiliki perbedaan kata dengan yang dinyanyikan Supinah, yaitu pada bagian sbb :
Supinah menyanyikan dengan kalimat : Ngenjot-ngenjot jare lakune, tetapi kata “ngenjot-ngenjot” dilafalkan koor sinden dengan kata ulang “ngenchot-ngenchot”. Namun dalam catatan berbeda yang bersumber dari beberapa naskah panduan kertas paduan suara terdapat kata berbeda, yaitu: “menjot-menjot”
Memperhatikan gendhing Seblang Olehsari, tampak jelas merupakan bagian patahan yang difungsikan mantra dengan membacanya berulang dari kesatuan syair gendhing klasik utuh, pada gendhing seperti : Podo Nonton, Celang Mogok, Sekar Jenang, dst. Agar gampang mengingat, gendhing biasanya diambil penamaaan dari frase atau kata pada baris pertama syair. Setiap gendhing biasanya terdiri dari 1-2 baris pertama dari patahan dari postur rangkaian lengkap syair klasik. Patahan-patahan syair dinyanyikan dengan irama lagu yang sama secara berulang-ulang.
Part syair gendhing yang diambil, kemudian dirapalkan berulang-ulang guna pemenuhan fungsi mantra. Gendhing dinyanyikan koor Seblang dengan menggunakan notasi gendhing yang sama, yaitu sebagai berikut : Seblang Lukento, Lilira Kantun, Cengkir Gading, Podho Nonton Pupuse, Padha Nonton Pudak Sempal, Kembang Menur, Kembang Gadhung, Kembang Pepe, Kembang Dirma, Layar Kumendhung, Ratu Sebrang, Kebyar-Kebyur, Baguse, Sekar Jenang, Ayun-Ayun, Tambak, Petung, Punjari, Sambung Laras, Ayu Kundur, Kembang Abang, Kembang Waru, Celeng Mogok, Candra Dewi, Agung-Agung, Erang-erang, Gerang Welut, Emping-Emping, Upak Gadung, Lilira Gule, Sampun.
Susunan reportoar choir menampilkan 31 (tigapuluhsatu) gendhing, tetapi selama pertunjukan biasanya akan terdapat pengurangan atau pengulangan saat melantunkannya pada upacara dari tahun ke tahun. Perbedaan jumlah gending dilakukan dengan alasan mistis, permintaan Mbah Buyut begitu alasannya. Pesan yang disampaikan Mbah Buyut melalui pengutuk (dukun), body language penari seblang, atau isyarat symbol lain, dan dikomunikasikan untuk dieksekusi tim choir yang duduk di tenda dekat Payung Agung. Dibawah Payung Agung terdapat 4 (empat) panjak pengiring yang duduk melingkar di altar dengan peralatan : 2 (dua) saron, 2 (dua) kendang, dan 2 (dua) gong suwukan.
4. 4. Syair Gendhing Kembang Pepe berdasarkan
rekaman kaset suara Gandrung Supinah
Yon’S DD berpendapat mengiyakan saya bahwa diski kata mbangkang menurutnya seharusnya terkesan memiliki lompatan diksi lebih sexy. Namun demikian harus lebih didalami lagi majas, struktur fisik dan batin, serta harus dihubungkan hubungan terhadap pesan / amanat yang ingin disampaikan oleh penyair.
Sebagai murid yang ngenger langsung pada Maestro Gandrung Poniti, tak heran bila Supinah memiliki kelebihan rapenan. Gandrung Supinah memiliki kemerduan suara indah, yang membuatnya memiliki perbendaharaan memori gendhing gandrung klasik yang relative lebih variatif dan banyak. Memperhatikan beberapa sumber rekaman kaset dan VCD, Supinah paling konsisten saat menyanyikan syair Kembang Pepe dengan susunan bunyi sebagai berikut :
Kembang Pepe merambat ring
Kayu Arum
Sang arumo membat manyun
Sampek peyot ngajak lungo
Ngajak lungo, mbok penganten kariyo dhalu
Ngenjot-ngenjot jare lakune
Kariya ngeluru lare
Lare bakal turokeno ring perahu
urukono ring wono cinde
Syang Temenggung hang nyakseni
Analisa dan telaah syair gendhing Kembang Pepe
Dari data diatas gendhing Kembang
Pepe memiliki beberapa varian syair. Proses transfer pengetahuan pada penerima
baru berikutnya secara lisan, menimbulkan berbagai kekorupan diksi sehingga
menimbulkan varian syair yang perbedaan makna, terutama pada 2 (dua) larik
akhir. Pada bahasan ini saya mencoba menganalisa dan menelaah gendhing Kembang
Pepe versi Gandrung Supinah. Kembang Pepe versi Supinah menurut saya lebih representative
jika dilihat dari struktur, majas dan korelasi amanat gendhing.
Kembang Pepe merambat ring
Kayu Arum
Sang arumo membat manyun
Sampek peyot ngajak lungo
Ngajak lungo, mbok penganten kariyo dhalu
Ngenjot-ngenjot jare lakune
Kariya ngeluru lare
Lare bakal turokeno ring perahu
urukono ring wono cinde
Syang Temenggung hang nyakseni
Perhatikan
penggambaran kondisi situation, pada larik pembuka yang berbunyi Kembang
Pepe merambat ring Kayu Arum. Secara etimologis Kembang Pepe nama latinnya Frangipani
(Plumeria). Pada jaman sekarang diberbagai tempat, bunganya mudah dijumpai di
halaman-halaman pemakaman. Sebagian masyarakat Banyuwangi menyebutnya Kembang
Semujo (Bunga Seroja). Bunga ini menyimbolkan kesetiaan dan pengorbanan,
melambangkan kondisi ketenangan, duka, atau alam spiritual. Kembang Pepe digunakan
sebagai media untuk nyekar, pada upacara kematian, dan ritual pembersihan untuk
persembahan (canang sari).
Pada jaman
Kerajaan pohon sawo kecik (Manilkara kauki), pohon kantil (Magnolia
champaca) dan pohon Jambu Klampok Arum (Syzygium jambos)
ditanam di halaman Kedhaton. Pohon-pohon itu sengaja ditanam dengan
maksud membawa muatan filosifis, intinya mengirim pesan ajakan agar manusia senantiasa
berbuat baik. Mengapa Kembang Pepe justru merambati (menjalari) kayu dari pohon
Jambu Klampok Arum ? Hal itu dimaksudkan untuk menggambarkan simbol tentang ketenangan yang indah diselimuti
suasana sunyi. Sebuah pertanda awal peristiwa besar atau sakral (seperti
pernikahan, perpisahan, atau kematian). Pada larik awal ini jelas mengkodekan
symbol waktu peristiwa besar (tampaknya tentang kematian). Pada larik awal gendhing
ini terkandung makna tentang keterangan tempat (adverb of place) yang terkodekan,
bahwa bunga yang merambati Kayu Arum ditanam di halaman Kedaton. Ada peristiwa besar
apakah, sehingga suasana istana para putri selir raja diliputi kabut kesedihan
?
Tetapi pada
prespektif berbeda teringat tradisi laku jaman Kerajaan dahulu. Dimana
setiap orang atau sekelompok orang boleh melakukan protes atas kebijakan Raja penguasa.
Mereka melakukan laku Tapa Pepe berjemur ditengah alun-alun. Sang Raja biasanya
akan merespon, menerima untuk berkomunikasi dalam menyikapi persoalannya. Suatu
cara penyampaian aspirasi yang sudah ada sejak jaman Majapahit, sebuah system kanalisasi
komunikasi vertical dari aspirasi anggota masyarakat, biasanya terdapat di Jawa
dan Makasar.
Bila menggunakan pendekatan Tapa
Pepe, Kembang Pepe merupakan sikap protes wanita yang dipersonifikasikan
sebagai bunga atau kembang. Aspirasi protes berisi tentang kondisi
ketidakadilan, yang digambarkan sangat melelahkan. Sehingga membuat langkah kaki
lelah terkesan Lelah kurang mendapat respon. Kembang Pepe seperti simbol wanita
penghuni Kedathon yang tengah melakukan Pepe, menggugat Sang Penguasa.
Sang arumo membat manyun. Bunga
semerbak harum mewangi, serasa berayun menapaki perjalanan cinta kehidupan yang
penuh dinamika. Kemudian terdapat kalimat penjelasan yang berbunyi : Sampek
peyot ngajak lungo. Mengapa keharuman kayu penopang tak lagi tegak,
menjadi bengkok dan pergi meninggalkan keharumannya ? Apakah ini sebuah ajakan
pergi untuk meninggalkan negeri karena kondisi kurang menguntungkan, ataukah
ajakan pergi untuk menghadap Sang Maha Pencipta ?
Lalu siapakah yang diajak pergi,
dijelaskan pada baris berikutnya: Ngajak lungo, mbok penganten kariyo
dhalu. Mbok penganten kariyo dhalu saya interprestasikan
sebagai penganten lama, atau pasangan yang hubungannya tengah diselimuti kondisi
berduka. Kata mbok bukan kata
sapa seperti kakak, tetapi kata depan pengaruh Bahasa Jawa sebagaimana “Mbok
ojo dumeh”. Kata dhalu lebih
menggambarkan tentang usia senja pengantin atau bisa juga penggambaran suasana
kelam duka kesedihan yang terjadi.
Langkah kakinya digambarkan sangat
berat membawa beban Ngenjot-ngenjot jare lakune.
Kondisi dimana melihat proses pencarian lare bakal di gelap
malam tergambar jelas pada larik Kariya ngeluru lare. Pada malam itu
pencarian malam hari untuk “memungut dari pohon” anak yang masih muda semakin membawa
kesedihan. Siapakah lare bakal itu yang kemudian diterangkan pada larik
selanjutnya ? Apakah mereka adalah anak keturunan dari selir ataukah selir muda
remaja ataukah para kasim tetapi harus juga ikut menanggung kesedihan mendalam
yang tengah di-luru.
Lare bakal turokeno ring
perahu. urukono ring wono cinde. Dan akhirnya Lare Bakal itu dibaringkan
dengan terbungkus sutra, dimasukkan kedalam altar berbentuk perahu yang
berfungsi sebagai upacara persembahan. Syang Temenggung hang nyakseni, Sang
Penguasa baru terdiam menahan kesedihan ketika menyaksikan peristiwa yang
terjadi.
Berbagai interprestasi bisa timbul dari syair gendhing klasik Kembang
Pepe. Kekorupan diksi karena proses penyampaian syair mantra secara lisan,
serta penggunaan diksi arkais konotatif pada syair menjadikannya interprestasi semakin
multitafsir. Syairnya sangat jelas bersumber
Bahasa Jawa Kuno dan atau Bahasa Osing yang beraroma sastra klasik. Diksi yang digunakan
sudah jarang dipakai pada percakapan seharian pada jaman sekarang, mendorong
perbedaan interprestasi. Gendhing Kembang Pepe diinterprestasikan secara umum sebagai
symbol nilai-nilai perjuangan menghadapi penjajah, mengingat pembuatan karya dapat
dipastikan terjadi sebelum tahun 1921 bila mengacu catatan syair Kembang Pepe
dari ottolender.
Mengamati Gendhing Kembang Pepe secara komprehensif, saya berpendapat berbeda dari interprestasi umum terhadap makna terkandung didalamnya. Pada gendhing Pepe menurut saya seperti ada pesan rahasia yang sengaja dikirim melalui syair dari thema dan amanat yang disampaikan penyair. Kembang Pepe adalah sebuah karya sastra puisi mantra klasik yang terkodekan, berkorelasi erat dengan potret peristiwa upacara Sati tanggal 13 Oktober 1691. Syair gendhing Kembang Pepe terhubung erat dengan laporan 2 (dua) duta utusan colonial Belanda emnghadap Raja Blambangan, yaitu Jan Francen dan Jan Brevelt, sebuah laporan yang bersifat private pada server Leyden University tetapi pernah dikutip oleh C.Lekkerkerker. Dari peta colonial Belanda peristiwa Sati itu terjadi di Meroe, sebuah tempat yang secara geografis terletak tak jauh disebelah utara Kerajaan Macan Putih.
Jumlah selir yang dikorbankan Upacara Sati tanggal 13 Oktober 1691, pasca mangkatnya Tawang Alun pada tanggal 18 September 1691 tersebut adalah sebanyak 270 (dua ratus tujuh puluh) orang. Dari 400 (empat ratus) orang selir yang ada, tidak semua selir melakukan pati obong. Beberapa asumsi alasan, adalah: Beberapa selir calon korban telah menyatakan menjadi Biksuni (catatan Tom Pires), selir raja itu sudah wafat atau hilang sebelum Tawang Alun mangkat, menyatakan masuk agama baru berbeda keyakinan (Islam). Perlu dicatat bahwa pada saat itu adalah kondisi Dimana masuknya ajaran Islam di tanah Blambangan.
Bila kita menelisik gendhing-gendhing Upacara Seblang Olehsari, erat berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Gendhing-gendhing Seblang adalah satu rangkaian gelang melingkar yang berkorelasi membentuk cerita dan amanat yang berthema. Beberapa pertanyaan misteri hadir serasa mendapat jawaban bila menelaah pada 5 (lima) larik-larik gendhing Seblang lainnya (diluar Kembang Pepe), yaitu sebagai berikut:
Kebyar
Kebyur geni murub ring perahu (syair Kebyar Kebyur)
Gerang Welut dibakar kari sak rambut (syair Gerang Welut)
Kembang Waru wite sampan geni seloko (syair Kembang Waru)
Upak Gadhung yo dibakar pating melentung (syair Upak Gadhung)
Erang-Erang yo wong adang kayune merang (syair Erang-Erang)
Semua larik tersebut bercerita perihal api dan pembakaran seperti layaknya pada Upacara Sati. Api menyala yang membakar perahu (tumpangan altar pada upacara Sati), membakar Gerang Welut (metafora kelamin lelaki yang kemungkinan adalah budak/putra selir/kasim yang melayani selir, diikutkan pada upacara Sati), Kembang Waru (metafora kelamin Wanita yang dibakar dalam perahu/sampan pada upacara Sati), Upak Gadhung (metafora cinta kepayang yang akhirnya harus diakhiri pada upacara Sati) dengan bahan bakar merang (wangsalan merang/arang/jarang yang menggambarkan peristiwa Sati jarang terjadi) menyisakan abu mengecil sebesar rambut. Kehadiran tokoh dalam syair, seperti : Bagus, Nyoman, dan Ketut adalah nama yang masih bertahan di Bali. Pilihan nama-nama Bali itu membentuk korelasi peristiwa besar pembakaran dan api pada Upacara Sati yang juga dahulu juga terjadi di Bali sebagaimana diceritakan Cornelis de Houtman dan Tome Pires.
Baguse yo bagus Nyoman (syair Baguse)
Sampun Mbah Ketut sare (syair Sampun)
Beberapa kemungkinan adanya motivasi yang melatar belakangi terjadinya Upacara Sati, yaitu pengorbanan Pati Obong dianggap sebagai wujud ekspresi cinta dan symbol kesetiaan istri kepada suami. Bahwa Sati merupakan bagian dari ajaran dan keyakinan yang ditanamkan dalam mencapai Surga/Nirwana harus menemani suami. Pasca wafatnya Tawang Alun, sebagai anak pertama Pangeran Pati Sasranegara memangku tahta. Pada bagian larik akhir Kembang Pepe dikatakan: Syang Temenggung hang nyakseni. Begitu dramatis Upacara Sati pada hari itu, sehingga membuat Pangeran Pati Sasranegara hanya bisa diam dan menahan kesedihannya saat meilhat tradisi dijalankan.
Selain Cornelis de Houtman (1597), catatan tentang Upacara Sati juga
terdapat dalam Suma Oriental yang ditulis Tome Pires (1512-1515). Pieres
menulis bahwa Sati adalah tradisi normal yang dipraktikan di lingkungan
kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur dan Bali. Pires juga mencatat bahwa
bangsawan yang meninggal dunia, juga mengorbankan para budaknya (selain dari Selir/Wanita
bangsawan). Pemerintah kolonial Belanda akhirnya melarang praktik ritual Sati mulai
tahun 1901, walaupun larangan itu baru bisa terlaksana pada tahun
1905 dengan berbagai upaya tekanan pelaksanaannya.
Berdasarkan telaah syair, peristiwa Sejarah, dan sosial budaya yang melatar
belakanginya, saya menginterprestasikan syair Kembang Pepe dalam presepsi sebagai
berikut :
Kembang Pepe adalah bentuk puisi mantra kuno terkodekan, yang kemudian dilagukan sebagai penggambaran sebuah peristiwa pengorbanan Sati pada tanggal 13 Oktober 1691. Struktur majas fisik dan batin, mengungkap rasa kesedihan mendalam terhadap peristiwa pengorbanan sedih kelam yang terjadi pada saat itu. Kematian Tawang Alun harus disertakan dengan upacara pengorbanan dari para selir/kasim/anak selir hamba setia anggotanya. Para korban setelah disucikan berjalan gontai menuju altar perahu untuk berbaring, kemudian dinyalakan api yang berkobar-kobar. Penyair mengungkapkan perasaan kesedihannya dalam bentuk syair, dengan harapan tidak terulang lagi, sehingga kemudian dalam perjalanan budaya oleh masyarakat difungsikannya sebagai mantra tulak balak dalam Upacara Seblang.

Komentar
Posting Komentar